Dipicu El Nino dan IOD Pasca Suhu Panas Indonesia Berpotensi Alami Musim Kemarau Lebih Kering

Ilustrasi (Dok:Net)

JAKARTA (SURYA24.COM)-Suhu panas yang ekstrem dan musim kemarau yang lebih kering telah menjadi masalah yang semakin meresahkan di banyak bagian dunia. Perubahan iklim yang sedang terjadi di seluruh planet ini telah mengakibatkan suhu yang lebih tinggi dan pola curah hujan yang tidak teratur. Dalam artikel singkat ini, kita akan melihat dampak dari suhu panas yang meningkat dan musim kemarau yang lebih kering serta tantangan yang dihadapi oleh manusia dan ekosistem. Diperkirakan kedua hal itu berpotensi melanda Indonesia.

Suhu panas yang ekstrem dapat menyebabkan berbagai masalah kesehatan bagi manusia. Dehidrasi, kelelahan panas, dan penyakit terkait panas menjadi lebih umum saat suhu mencapai tingkat yang ekstrem. Orang-orang yang paling rentan terhadap suhu panas ini adalah anak-anak, orang tua, dan individu dengan kondisi kesehatan yang sudah ada. Selain itu, suhu panas yang tinggi juga dapat berdampak negatif pada produktivitas dan kesejahteraan manusia secara keseluruhan.

Musim kemarau yang lebih kering juga membawa konsekuensi serius. Ketidakseimbangan pasokan air dapat terjadi, mempengaruhi pertanian, pasokan air minum, dan keberlanjutan ekosistem alami. Tanah menjadi kering dan rawan kebakaran hutan dan lahan. Keberlanjutan lingkungan dan kelangsungan hidup banyak spesies juga terancam karena kehilangan habitat dan sumber daya.

Lebih Kering dari Biasanya

Sementara itu Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) memperkirakan musim kemarau di Indonesia pada 2023 lebih kering dari biasanya. 

Dilansir dari laman BMKG,  Kepala BMKG Dwikorita Karnawati mengatakan, sebagian wilayah Indonesia mengalami musim kemarau lebih awal pada April 2023. Sebelum kekeringan terjadi, sebagian wilayah Indonesia sudah mengalami suhu panas dengan paparan sinar ulraviolet (UV) yang tinggi pada April 2023.

 Potensi kekeringan yang diperkirakan melanda Indonesia paada pertengahan tahun ini dipicu oleh El Nino dan Indian Ocean Dipole (IOD) positif. 

Dilansir dari Kompas.com, terjadinya suhu panas pada April 2023 dipicu oleh beberapa faktor, salah satunya dinamika atmosfer yang tidak biasa

Di sisi lain, meningkatnya suhu juga disebabkan oleh pengaruh gerak semu Matahari, pemanasan global, dan perubahan iklim. Faktor lain yang berkontribusi pada terjadinya suhu panas adalah dominasi Monsun Australia saat Indonesia memasuki musim kemarau, tutupan awan, dan radiasi. 

Dwikorita menjelaskan bahwa gerak semu Matahari yang menyebabkan suhu panas di Indonesia merupakan siklus yang terjadi setiap tahun.

"Sehingga potensi suhu udara panas seperti ini juga dapat berulang pada periode yang sama setiap tahunnya," katanya, Selasa (25/4/2023). 

Dwikorita mengatakan bahwa Indonesia perlu mewaspadai potensi terjadinya El Nino yang semakin pasti. Terjadinya El Nino tidak sekadar mengurangi curah hujan namun juga dapat meningkatkan jumlah titik api. Hal tersebut semakin meningkatkan kondisi kerawatanan kebakaran hutan dan lahan (karhutla). 

Adapun, El Nino yang berpotensi menyebabkan Indonesia mengalami kekeringan adalah fenomena pemanasan Suhu Muka Laut (SML) di atas kondisi normal yang terjadi di Samudera Pasifik bagian tengah dan timur.

 Pemanasan SML ini mengakibatkan bergesernya potensi pertumbuhan awan dari wilayah Indonesia ke wilayah Samudera Pasifik Tengah sehingga akan mengurangi curah hujan di wilayah Indonesia. 

"Kombinasi dari fenomena El Niño dan IOD Positif yang diprediksi akan terjadi pada semester II 2023 tersebut dapat berdampak pada berkurangnya curah hujan di sebagian besar wilayah Indonesia selama periode Musim Kemarau 2023," ujar Dwikorita kepada Kompas.com, Rabu (7/6/2023). 

Terpisah, Koordinator Bidang Analisis Variabilitas Iklim BMKG Supari mengatakan, ada potensi suhu di Indonesia mengalami peningkatan akibat El Nino. "Iya,  karena El Nino biasanya suhu udara rata-rata meningkat," ujar Supari saat dihubungi Kompas.com, Jumat (9/6/2023). 

Namun, ia menjelaskan bahwa suhu yang melonjak tidak berarti terjadi lonjakan. Secara global suhu mengalami peningkatan sebesar 0,5 persen dari kondisi normal ketika terjadi El Nino. 

"Tapi, itu berkontribusi signifikan jika merujuk pada tren kenaikan suhu global yang jangka panjang," jelasnya. 

Supari menerangkan, BMKG sudah mengeluarkan peringatan bahwa El Nino dapat menyebabkan karhutla. Kendati demikian, ada dampak lanjutan yang ditimbulkan akibat fenomena tersebut, yaitu terjadinya kabut asap yang berisiko bagi kesehatan. 

"Tapi, ini masuknya ke dampak lanjutan (bukan dampak secara langsung)," pungkasnya. 

Kesadaran Publik

Tantangan yang dihadapi dalam menghadapi suhu panas dan musim kemarau yang lebih kering sangat besar. Salah satunya adalah kebutuhan akan pengelolaan air yang lebih efisien dan berkelanjutan. Pemerintah dan lembaga terkait perlu mengembangkan kebijakan yang mempromosikan penghematan air, sistem irigasi yang cerdas, dan penggunaan teknologi hijau lainnya untuk mengurangi dampak dari musim kemarau yang kering.

Selain itu, penting juga untuk meningkatkan kesadaran masyarakat tentang perubahan iklim dan pentingnya adaptasi terhadap suhu panas yang ekstrem. Langkah-langkah seperti penggunaan energi terbarukan, penghijauan kota, dan peningkatan efisiensi energi dapat membantu mengurangi emisi gas rumah kaca dan mengurangi suhu udara di perkotaan.

Di tingkat global, upaya kolaboratif dalam mitigasi perubahan iklim juga penting. Kesepakatan internasional seperti Kesepakatan Paris harus diperkuat dan dipatuhi oleh semua negara agar dapat mengurangi emisi gas rumah kaca dan membatasi kenaikan suhu global.

Dalam menghadapi suhu panas yang meningkat dan musim kemarau yang lebih kering, penting untuk mengambil tindakan yang tepat dan segera. Perlindungan terhadap kesehatan manusia, keberlanjutan lingkungan, dan adaptasi terhadap perubahan iklim harus menjadi prioritas bagi masyarakat, pemerintah, dan komunitas.***